PN Polman Dianggap Abaikan Hukum Adat, Eksekusi Tanah Adat Laliko Terancam Picu Kekerasan

Gambar Ilustrasi

Polewali Mandar, Menitsulbar.news – Rencana eksekusi tanah adat di Dusun I Lapeo, Desa Lapeo, Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, menuai gelombang penolakan keras dari masyarakat adat Laliko. Keputusan Pengadilan Negeri Polewali yang tertuang dalam surat pelaksanaan eksekusi Nomor 651/PAN.W.33-U3/HK2.4/5/2025 dinilai telah mencederai prinsip-prinsip keadilan sosial dan mengabaikan eksistensi hukum adat yang telah berlaku turun-temurun.

Eksekusi yang direncanakan pada 22 Mei 2025 atas tanah adat yang ditempati keluarga Sappeani ditolak karena dianggap sarat cacat hukum. Penolakan terutama datang dari Ketua Adat Laliko, Rais Rahman (Papa Desi), yang menegaskan bahwa tanah adat tidak dapat dialihkan tanpa melalui mekanisme adat yang sah dan disepakati secara kolektif oleh struktur adat.

“Kami tidak akan tinggal diam. Kalau hukum negara tidak mengakui hukum adat, maka kami akan menegakkan hukum kami sendiri,” tegas Papa Desi dengan nada penuh kekecewaan, Rabu (21/5/2025).

Lebih lanjut, Muhammad, anak dari Sappeani yang saat ini menempati rumah yang akan dieksekusi, mengungkapkan kejanggalan dalam proses hukum. Ia menegaskan bahwa keluarganya tidak pernah digugat dalam perkara perdata tersebut. “Bagaimana mungkin rumah kami dieksekusi padahal kami tidak pernah digugat? Ini bentuk kelalaian fatal dari pengadilan,” ujar Muhammad.

Tidak hanya itu, warga menunjukkan sejumlah dokumen sebagai bukti bahwa tanah yang disengketakan adalah tanah adat milik keluarga Pili — orang tua dari Hasanuddin Pili, tergugat dalam perkara lama tersebut, sekaligus nenek dari Muhammad. Surat pernyataan yang ditandatangani oleh Annungguru Kuma (pemuka adat), Mara’dia (tokoh kerajaan adat), dan Kepala Desa Lapeo menguatkan klaim tersebut.

Kritik keras pun diarahkan kepada Pengadilan Negeri Polman yang dinilai mengabaikan aspek kejelasan objek sengketa dan mengesampingkan hukum adat dalam memutus perkara. Ketidakcermatan ini dianggap bisa menjadi preseden buruk dalam penanganan konflik agraria, terutama yang melibatkan hak-hak masyarakat adat.

Baca Juga :  Diduga Ada Praktik Mafia BBM di SPBU Sarampu, Warga Keluhkan Antrian Panjang dan Pengisian dengan Jeriken

“Kami tidak menolak hukum negara, tapi hukum negara juga harus menghormati hukum adat. Tanah ini adalah identitas kami, bukan sekadar objek hukum,” ujar salah satu tokoh adat Laliko.

Masyarakat adat Laliko menuntut:

  1. Fasilitasi Mediasi dan Dialog – Pemerintah daerah diminta segera memediasi pihak-pihak yang bersengketa agar konflik tidak berkembang menjadi kekerasan terbuka.
  2. Sosialisasi Hukum Adat – Aparat penegak hukum harus memahami dan menghormati hukum adat dalam menangani kasus pertanahan di wilayah adat.
  3. Penguatan Lembaga Adat – Pemerintah harus memperkuat peran lembaga adat dalam menjaga keharmonisan dan mencegah konflik agraria.

Kekhawatiran akan pecahnya kekerasan bukan tanpa alasan. Ketua Adat Papa Desi secara terbuka menyatakan siap melawan jika aparat tetap memaksakan eksekusi. Situasi ini menunjukkan lemahnya koordinasi antara lembaga yudikatif dan struktur adat lokal dalam menjaga stabilitas sosial.

Jika negara terus menutup mata terhadap hukum adat, maka konflik seperti ini hanya akan menjadi bom waktu. Dalam sistem hukum yang mengklaim mengedepankan keadilan, mengabaikan suara masyarakat adat sama saja dengan menyingkirkan keadilan itu sendiri.

Bagikan ke :