Putusan PN Polman Picu Ketegangan: Masyarakat Adat Laliko Tolak Eksekusi Tanah Adat di Lapeo

Polman, Menitsulbar.news – Konflik tanah adat di Desa Lapeo, Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, kian memanas setelah Pengadilan Negeri (PN) Polman memerintahkan eksekusi atas lahan yang selama ini diakui sebagai tanah adat oleh masyarakat Laliko. Keputusan yang dinilai abai terhadap kearifan lokal ini memicu gelombang penolakan keras dari warga dan tokoh adat setempat.

Ketua Adat Laliko, Rais Rahman alias Papa Desi, dengan tegas menyatakan bahwa tanah yang menjadi objek eksekusi adalah bagian dari wilayah adat Laliko dan tidak bisa diperjualbelikan sembarangan. Ia menegaskan bahwa pelepasan hak atas tanah adat hanya bisa dilakukan melalui mekanisme adat yang sah, bukan berdasarkan putusan pengadilan yang tidak mempertimbangkan fakta-fakta adat.

“Jika dipaksakan, kami akan lawan. Ini bukan sekadar sengketa tanah biasa. Ini adalah soal martabat dan hak kami sebagai masyarakat adat,” ujar Papa Desi dalam pernyataan resminya, Rabu, 21 Mei 2025.

Penolakan juga datang dari keluarga Sappeani yang saat ini mendiami tanah tersebut. Muhammad, anak dari Sappeani, menyatakan bahwa rumah yang dihuni keluarganya masuk dalam wilayah eksekusi, padahal mereka tidak pernah menjadi pihak tergugat dalam perkara tersebut.

“Ayah saya tidak ikut digugat. Kenapa rumah kami yang dieksekusi? Ini sangat tidak adil dan mencederai rasa keadilan masyarakat,” tegas Muhammad.

Lebih lanjut, penolakan masyarakat adat diperkuat dengan adanya surat pernyataan dari Annungguru Kuma, Mara’dia, dan Kepala Desa yang menyatakan bahwa tanah tersebut adalah milik Pili, orang tua dari tergugat Hasanuddin Pili, yang juga merupakan nenek dari Muhammad sebagai pihak ketiga. Bukti ini menguatkan klaim bahwa proses eksekusi dilakukan atas dasar objek yang keliru dan tanpa memperhatikan status hukum adat setempat.

Baca Juga :  Nasib Oknum Pejabat BUMD di Majene Diduga Kampanyekan Cakada Ditentukan Besok

PN Polman dinilai gegabah dan tidak sensitif terhadap konteks sosial dan historis masyarakat adat. Keputusan untuk mengeksekusi tanah adat tanpa verifikasi lapangan yang cermat dan tanpa melibatkan unsur adat hanya akan menyulut api konflik.

Desakan untuk Pemerintah Daerah

Dalam situasi yang semakin genting, masyarakat adat Laliko menuntut agar pemerintah daerah segera turun tangan. Tuntutan tersebut meliputi:

  • Mediasi dan Dialog antara pihak-pihak yang bersengketa dengan fasilitasi dari pemerintah daerah.
  • Sosialisasi Hukum Adat kepada aparat penegak hukum agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan terkait tanah adat.
  • Penguatan Lembaga Adat agar keberadaan dan kewenangan adat diakui dalam sistem hukum nasional.

Konflik ini mencerminkan krisis keadilan yang lebih luas dalam sistem hukum Indonesia, di mana hukum formal sering kali mengabaikan realitas sosial dan hukum adat yang hidup dalam masyarakat.

Jika eksekusi tetap dipaksakan, bukan tidak mungkin konflik ini akan berkembang menjadi kekerasan terbuka. Pemerintah dan aparat penegak hukum diminta tidak menutup mata, sebab kegagalan menangani konflik ini secara adil dan bermartabat hanya akan membuka luka sosial yang dalam dan berjangka panjang.

Bagikan ke :