Jakarta – Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengungkapkan dua opsi jadwal pelantikan kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024. Opsi ini mencakup kepala daerah yang bersengketa maupun tidak bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kami akan segera mengundang Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk membahas dan merumuskan jadwal pelantikan ini,” ujar Rifqinizamy di Jakarta pada Rabu, 15 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.
Pertemuan tersebut dijadwalkan berlangsung pada 22 Januari 2025, setelah masa reses Anggota DPR selesai. Komisi II, yang memiliki ruang lingkup tugas di bidang pemerintahan dalam negeri, akan membahas kedua opsi tersebut bersama penyelenggara pemilu.
Opsi pertama adalah pelantikan kepala daerah terpilih dilakukan serentak setelah seluruh putusan MK memiliki kekuatan hukum. Proses sengketa pilkada di MK diperkirakan selesai pada 12 Maret 2025. “Pelantikannya akan diserahkan kepada presiden berdasarkan peraturan presiden (perpres),” jelas Rifqinizamy.
Sementara itu, opsi kedua adalah pelantikan dilakukan terlebih dahulu untuk kepala daerah yang tidak bersengketa. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2024, pelantikan gubernur dan wakil gubernur dijadwalkan pada 7 Februari 2025, sementara bupati-wakil bupati serta wali kota-wakil wali kota pada 10 Februari 2025.
“Pelantikan bagi kepala daerah yang bersengketa akan dilakukan serentak setelah putusan MK dikeluarkan, termasuk apabila ada pemungutan suara ulang (PSU), penghitungan ulang, atau pilkada ulang,” tambahnya.
Namun, Rifqinizamy menyoroti adanya dilema hukum dalam proses pelantikan kepala daerah secara serentak. Putusan MK Nomor 46 Tahun 2024 menyatakan pelantikan hanya dapat dilakukan setelah semua sengketa di MK selesai.
“Di sisi lain, Pasal 160 dan 160A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menyebutkan bahwa pelantikan merupakan konsekuensi dari penetapan KPU, yang telah diatur waktunya,” ungkap Rifqinizamy.
Menurutnya, jika pelantikan menunggu hingga pertengahan Maret 2025 setelah putusan MK selesai, hal itu berpotensi melanggar dua pasal dalam undang-undang tersebut.